Minggu, 13 Desember 2009

Diterbitkan dalam Harian Seputar Indonesia edisi 14 Oktober 2009


Pemberantasan korupsi memang menjadi agenda utama dalam membentuk pemerintahan yang bersih dan kuat (clean and strong governance). Praktek-praktek korupsi di kalangan aparat penegak hukum akhirnya memaksa pemerintah membentuk sebuah lembaga yang bersifat independent (independent and self regulatory body) yang bernama KPK. Urgensi pemberantasan korupsi dengan instrumen KPK memang sangat diperlukan bangsa ini, mengingat korupsi telah menjadi sebuah culture bangsa yang akan sangat sulit dipangkas habis. Namun pemberantasan korupsi di negara ini dengan instrumen KPK tidak serta merta harus dilakukan secara "membabi buta". Prinsip-prinsip limited government atau pembatasan kekuasaan oleh hukum haruslah selalu diutamakan. Hukum harus menjadi panglima dalam memutuskan arah pemberantasan korupsi di negara ini. Lord acton mengatakan bahwa "power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely"...ini menggambarkan bahwa kekuasaan yang sangat besar akan berujung pada tirani dan kelaliman.

Prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan tidak hanya harus diterapkan pada negara, tetapi juga instansi atau lembaga-lembaga-nya termasuk KPK. Diperlukan sebuah formula yang tepat untuk menjaga eksistensi KPK agar tidak menjadi lembaga yang superbody. Kewenangan-kewenangan KPK seperti kewenangan untuk menyadap perlu untuk diberikan pengawasan sebagai penyeimbang (balancing) dari kewenangan itu, sehingga hak-hak asasi bahkan hak konstitusional warga negara tetap terjaga. Memang KPK sudah memiliki mekanisme pengawasan internal, namun seberapa efektif pengawasan internal tersebut dapat meredam KPK???

Sebagai perbandingan, aparat penegak hukum di Australia dalam kewenangannya menyadap telah diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga setipe dengan ombudsman di Indonesia. Hal ini patut kita tiru demi eksistensi KPK untuk pemberantasan korupsi tanpa mencederai prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan. Selain itu, diperlukannya pengekangan diri (self restraint doctrine) bagi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugasnya. Hal ini berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan, bahwa kewenangan suatu lembaga tidak seharusnya kemudian menjatuhkan wibawa lembaga lainnya. Prinsip pengekangan diri ini pun pada dasarnya adalah sebagai prinsip yang melekat pada sistem pemisahan kekuasaan di Amerika dan merupakan pelengkap dari mekanisme check and balances. Akhirnya kita semua harus sadar bahwa korupsi memang merampas hak-hak rakyat untuk sejahtera, namun pemberantasannya pun harus disertai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang elegan dan prinsip the rule of law, not of man. Demokrasi akan kita miliki jika kita menggenggamnya.

NILAI SEBUAH KONSTITUSI

Brian Thompson memberikan definisi konstitusi sebagai “a document wich containts the rules for the operation of the organitation[1]. Dalam konteks Negara sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi menurut Ivo D Duhacek adalah “ identify the source, purposes, uses, and restraint of public power”[2] yang berarti konstitusi merupakan sarana untuk mengidentifikasi sumber, tujuan, penggunaan serta pembatasan terhadap kekuasaan umum. Sehingga konstitusi yang memuat nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan juga keinginan yang merupakan kehendak masyarakat (general agreement) untuk dijalankan oleh Negara memiliki fungsi-fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie berupa :

1. fungsi penentu dan pembatas kekuasaan Negara.

2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara.

3. Fungsi pengatur hubungan antara organ Negara dengan warga Negara.

4. Fungsi pemberi atau legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara.

5. Fungsi pengatur dan pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli.

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu.

7. Identity of nation.

8. Center of ceremony.

9. Social control.

10. Social engineering.[3]

Berkenaan dengan nilai yang mengandung fungsi-fungsi tersebut maka Karl Loewenstein dalam bukunya reflection on the value of constitution membedakan tiga macam nilai atau value of the constitution berupa :

  1. Normative Value. Yaitu, jika norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi tersebut dikatakan memiliki nilai yang normatif.
  2. Nominal Value. Yaitu, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, maka konstitusi tersebut dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal.
  3. Semantical Value. Yaitu, konstitusi yang norma-norma yang terkandung didalamnya hanya dihargai diatas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis atau sebatas alat pembenar belaka, bahkan dikutip dan dijadikan dasar pembenar belaka dalam pengambilan kebijakan, tetapi isi kebijakan tersebut sama sekali tidak mengamalkan amanat norma yang dikutipnya maka konstitusi tersebut bernilai semantik.[4]

Jika kita melihat praktek-praktek ketatanegaraan yang ada ataupun kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat norma-norma di dalam konstitusi yang telah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi namun ada juga hal-hal yang belum dijalankan. Hanya saja penulis berangapan bahwa tidak ditaatinya norma-norma tersebut berusaha untuk dibuat terselubung oleh pemerintah dengan diamanatkannya pembentukan undang-undang organik bagi pasal-pasal tertentu seperti pasal 34. Fakir miskin dan anak terlantar seharusnya dipelihara negara, namun dalam kenyataannya begitu banyak pekerja anak yang seolah tidak tersentuh tangan kebijakan pemerintah. Undang-Undang Dasar juga mengamanatkan adanya jaminan sosial serta jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, namun amanat konstitusi ini pun belum dapat dirasakan oleh rakyat. Hak kesehatan dan hak warga Negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat belum dapat dirasakan di negeri ini. Sehingga kesimpulan awal yang dapat diambil adalah bahwa konstitusi Indonesia bernilai nominal.

Namun, pasca perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dipegang oleh mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Fungsi mahkamah konstitusi adalah sebagai the guardian of constitution, artinya bahwa konstitusi sebenarnya menghendaki adanya pengawasan oleh lembaga kehakiman demi terciptanya nilai konstitusi yang normatif. MK berpendapat bahwa hak-hak konstitusional warga Negara merupakan amanat konstitusi merupakan hak yang bersifat mengikat secara hukum, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak tersebut tidak dapat ditunda-tunda pelaksanaannya, seperti yang Prof. Sunaryati Hartono dalam bukunya “Apakah The Rule of Law itu?” katakan bahwa justice delayed is justice denied”. Sehingga dengaan adanya eksistensi MK dalam mengawal konstitusi yang mempunyai sifat putusan yang final and binding maka pada dasarnya nilai konstitusi kita sudahlah dapat dikatakan bernilai normatif. Sayangnya kewenangan MK untuk menafsirkan UUD bukanlah kewenangan yang berdiri sendiri melainkan kewenangan yang menempel pada kewenangan pengujian undang-undang (judicial review), sehingga MK hanya dapat melindungi nilai-nilai di dalam konstitusi berdasarkan kasus yang diterimanya untuk diadili.

Konstitusi kita pasca amandemen juga mencantumkan jaminan HAM dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Namun MK belum memiliki kewenangan constitutional complaint yang memungkinkan warga Negara dapat melakukan permohonan pemenuhan hak konstitutionalnya. Sehingga dengan kewenangan yang besar pada lembaga MK ini memungkinkan sekali untuk menjadikan nilai konstitusi kita bernilai normatif. Namun, yang harus diingat adalah bahwa konstitusi adalah hukum yang bersifat semu, artinya adalah bahwa pemenuhan norma-norma konstitusi oleh pemerintah tergantung kepada political will dari pemerintah untuk memenuhinya. Pemerintah tidak dapat dihukum apabila tidak memenuhi norma-norma dalam konstitusi tersebut. Bahkan ada adagium yang mengataan bahwa “seburuk-buruknya sebuah konstitusi, selama ia masih dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan maka akan cenderung dipertahankan”. Sehingga sangat sulit dan hal yang utopis jika mengatakan bahwa konstitusi kita bernilai normatif, karena keadaan social, politik serta ekonomi dalam masyarakat sangat jelas menggambarkan bahwa nilai konstitusi kita bernilai nominal.



[1] Jimly, Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15.

[2] Ibid, hlm. 17. Lihat juga Ivo D Duhacek, Constitution/Constitutionalism, Blackwell’s Encyclopedia of Political Science, Blackwell, Oxford, 1987, hlm. 142.

[3] Jimly, Op. cit. hlm. 27.

[4] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm, 135.

KONSTITUSI TIDAK TERTULIS

Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.[1] Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.[2]

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[3] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.

Oleh karena itu, karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).[4] Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.

Saat ini terdapat dua istilah, yakni konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Istilah UUD sering diartikan sama dengan konstitusi, apakah konstitusi=UUD ?. Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), terjemahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (grond= dasar; wet= undang-undang) , dan Grundgesetz (grund= dasar; gesetz= undang-undang ), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa pada dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai UUD-nya. Namun, dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J. van Apeldoorn) diadakan pembedaan antara pengertian UUD (grondwet) dan UUD (constitutie). UUD adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi[5], sedangkan Konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis[6].

Herman Heller membagi Konstitusi dalam tiga pengertian[7] :

  1. konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum, melainkan konstitusi dalam pengertian sosiologis atau politis.
  2. orang mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum. Tugas mencari unsur-unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi.
  3. orang mulai menulis dalam suatu naskah sebagai UU yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Lalu apakah hubungan antara UUD dan Konstitusi yang dewasa ini sering disamaartikan ?, Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (1983), “ jika pengertian Undang-Undang Dasar itu harus dihubungkan dengan pengertian Konstitusi, maka arti Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian Konstitusi yaitu Konstitusi yang ditulis. Konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata tetapi juga sosiologis dan politis[8].

Membedakan secara prinsipil konstitusi tertulis (written constitution) dengan konstitusi tidak tertuli (unwritten constitution) adalah tidak tepat.[9]Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam satu naskah atau dalam beberapa naskah. Timbulnya konstitusi tertulis adalah pengaruh dari paham kodifikasi hukum. Salah satu negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris. Namun prinsip-prinsip konstitusi yang ada di Inggris dicantumkan dalam undang-undang seperti bill of rights.

Dengan demikian suatu konstitusi disebut tertulis jika ia dituliskan dalam satu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi disebut tidak tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang mengatur pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan diatur dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa.[10]

Konstitusi tidak tertulis disebut juga sebagai gerunds-norm atau norma dasar atau hukum dasar (basic principles). Dan tentunya norma-norma yang tidak tertulis ini merupakan norma hukum tata negara yang dianggap ideal sebagai norma konstitusi yang juga mengikat dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Nilai dan norma yang dimaksud dapat berupa pikiran-pikiran kolektif dan dapat pula berupa kenyataan-kenyataan perilaku yang hidup dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Oleh karena itulah Constitutional rules di tiap-tiap negara berbeda-beda dikarenakan adanya perbedaan constitutional culture pada setiap negara.[11]

Salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi ketatanegaraan (constitutional convention). Prof. Jimly Ashhiddiqie mengatakan dalam bukunya pengantar hukum tata negara jilid I bahwa konvensi ketatanegaraan tidak identik dengan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan. Dalam kebiasaan diperlukan adanya pengulangan secara terus-menerus, sedangkan dalam konvensi ketatanegaraan tidak diperlukan adanya pengulangan tersebut. Konvensi ketatanegaraan (the convention of constitution) dapat berbentuk kebiasaan ketatanegaraan atau praktek (practice) ataupun constitutional usage.[12] Sehingga yang terpenting dalam hal ini adalah kebiasaan, praktek, dan kelaziman maka konvensi merupakan hal yang secara moral dianggap baik. Prof. I Gde Pantja Astawa dalam kuliah hukum tata negara nya juga mendefinisikan konvensi sebagai hal yang terjadi berulang-ulang dalam ketatanegaraan sehingga diterima sebagai norma yang secara moral dikatakan baik. Sehingga sekalipun bukan merupakan konstitusi tertulis hal ini tetap dianggap penting secara konstitusional (constitutional meaningfull).

Prof .Jimly Ashhiddiqie mengatakan bahwa konvensi merupakan bagian dari konstitusi tidak tertulis yang juga harus ditaati. Namun juga dapat dirubah dengan cara melakukan penyimpangan terhadap norma konvensi tersebut hingga dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan yang baru.[13] Salah satu contoh konstitusi tidak tertulis adalah adanya pidato kenegaraan yang dilakukan presiden setiap tanggal 17 Agustus sejak masa orde lama hingga saat ini. Pada masa presiden Soekarno pidato tersebut merupakan hal yang bersifat simbolik sebagai bentuk pertanggungjawaban Soekarno sebagai pemimpin tertinggi revolusi kepada rakyat, sehingga pidato tersebut dilakukan di depan rakyat secara langsung. Pada masa orde baru, pidato kenegaraan berubah menjadi hal yang bersifat teknis karena dilakukan di depan rapat paripurna DPR yang dikaitkan dengan penyampaian nota keuangan dalam pengajuan APBN.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis berpendapat bahwa melakukan pembedaan konstitusi sebagai konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution) atau menyamakan konstitusi dengan UUD adalah tidak tepat dikarenakan pengertian konstitusi lebih luas ketimbang pengertian UUD. Konstitusi tidak hanya menjelma dalam UUD tetapi juga praktek-praktek ketatanegaraan dan pencantuman prinsip-prinsip konstitusi dalam setiap undang-undang tertulis seperti yang terjadi di Inggris. Pada dasarnya konstitusi merupakan sebuah gambaran mengenai budaya (culture) dari kehidupan sosial politik dan ekonomi suatu bangsa yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan atas dasar kesepakatan bersama (general agreement) yang kemudian disebut sebagai Undang-Undang Dasar. Namun kesepakatan untuk melakukan transformasi konstitusi kedalam bentuk tulisan berdasarkan general agreement tersebut tidak serta merta menghapus konstitusi yang tidak ditransformasikan kedalam bentuk tulisan, konstitusi tersebut tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa klasifikasi yang tepat dilakukan adalah membagi konstitusi sebagai konstitusi yang terkodifikasi dan konstitusi yang tidak terkodifikasi.

Perbedaan yang sangat fundamental antara konstitusi yang terkodifikasi dan yang tidak terkodifikasi adalah bahwa dalam konstitusi yang tidak terkodifikasi hanya diperlukan penyimpangan terhadap norma tersebut jika diinginkan adanya perubahan dalam masayrakat, hal ini dikarenakan bahawa konstitusi yang tidak terkodifikasi hanyalah dipertahankan atas dasar pertimbangan moral bahwa norma tersebut secara moral dikatakan baik (moraly binding). Berbeda dengan konstitusi tidak terkodifikasi, dalam konstitusi yang terkodifikasi diperlukan mekanisme yang rigid atau keadaan yang istimewa untuk melakukan perubahan (some primary force), hal ini dikarenakan konstitusi yang terkodifikasi adalah merupakan persetujuan antara rakyat dan negara (general agreement) yang menggambarkan kedaulatan rakyat yang kemudian menimbulkan konsekuensi yuridis apabila negara lalai dalam pemenuhan norma-norma konstitusi tersebut, bahkan pemenuhan norma tersebut yang merupakan kewajiban konstitusional negara tidak dapat ditunda-tunda pemenuhan atau pelaksanaannya, karena menunda-nunda penegakan hukum yang merupakan hukum yang berisikan keadilan (just law) adalah merupakan pengabaian atau pembangkangan terhdap keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied).



[1] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.

[2] Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 19 – 34.

[3] William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Consti­tu­tio­nalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political commu­nity have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.

[4] Ibid., hal.12-13.

[5] dalam bukunya Miriam Budiarjo menggunakan istilah UUD untuk keduanya, untuk memudahkan pemahaman Penulis menggunakan istilah Konstitusi dan UUD.

[6] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2008. hlm.169.

[7] Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia , hlm.65

[8] Ibid

[9] Jimly, Asshiddiqie. Konstitusi…Op. cit, hlm. 148. Lihat juga K.C. Wheare, Modern Constitution. Hlm. 19.

[10] Jimly, Asshiddiqie. Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006 ,hlm. 148.

[11] Ibid, hlm. 167.

[12] Ibid, hlm. 178.

[13] Ibid

Senin, 28 September 2009

THE RULE OF LAW

Paul Woodruff mengatakan bahwa dalam masa demokrasi di zaman Yunani telah berkembang sebuah konsep tentang hukum suatu bangsa, dimana hukum harus digunakan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat, dan konsep tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan nomos (hukum)[1]. Hans Kelsen memberikan sebuah teori tentang hukum, bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perliaku-perilaku manusia[2]. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memilki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem[3]. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja[4].

Nomos yang dalam sejarah Yunani kuno bertujuan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat pada dasarnya adalah bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap sifat-sifat Negara yang tidak dimiliki oleh organisasi lainnya. Menurut Prof. Miriam Budiarjo, sifat-sifat Negara tersebut adalah :

1. Sifat memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah. Sifat memaksa ini dapat diartikan juga bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal.

2. Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.

3. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua tanpa terkecuali[5].

Dikarenakan kekuasaan Negara yang begitu besar ini maka munculah gagasan mengenai pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum untuk mengurangi kemungkinan kekuasaan suatu Negara berkembang menjadi tidak terbatas dan sewenang-wenang.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan ini pernah dirumuskan oleh ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyhur sebagai berikut: “ Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely)”.[6]

Oleh karena hukum dijadikan sebagai perwujudan dari kekuasaan tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah maka dapat diartikan pula sebagai konsep Negara hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum, bukan manusia (government by laws, not by men).[7]

Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya mengatakan bahwa ahli-ahli hukum dari Eropa Barat Kontinental seperti Friedrich Julius Stahl memakai istilah rechstaat untuk konsep Negara hukum. Menurut Stahl terdapat empat unsur yang ada dalam rechtstaat dalam arti klasik, yaitu:

1. Hak-hak manusia.

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (dalam Negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politika)

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (vetmatigheid van bestuur)

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.[8]

Selain daripada itu, Prof Miriam Budiarjo mengatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law dalam arti yang klasik dalam Negara-negara anglo saxon yang dikemukakan oleh A. V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik bagi orang biasa, maupun pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.[9]

Kedua rumusan rechstaat dan rule of law diatas sangatlah dipengaruhi keadaan saat itu berupa prinsip Negara sebagai penjaga malam (nachtwacherstaat) yang dirumuskan dengan dalil “the best government is the least government”. Sesuai dengan berkembangnya paham Negara kesejahteraan (walfare state) pada awal abad ke-20 maka diperlukan perkembangan gagasan rule of law yang dikumukakan oleh A. V. Dicey yang dirumuskan melalui International Commission of Jurist dalam konverensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang memperluas konsep mengenai the rule of law, dan menekankan the dynamic aspects of the rule of law in the modern age[10]. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law ialah :

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (Independent and impartial tribunals).

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.

6. Pendidikan kewarganegaraan (civil education)[11].

Arti dari pengertian the rule of law ini menurut Prof. Sunarjati Hartono yang mengutip pendapat yang digunakan Friedman bahwa kata “rule of law” dapat dipakai dalam arti formil (in the formal sense) dan dalam arti materiil (ideological sense)[12]. Dalam arti formil ini maka the rule of law adalah “orgenised public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Sedangkan dalam arti materil, the rule of law adalah berbicara tentang just law (hukum yang mengandung keadilan)[13]. Sehingga menurut Prof. Sunarjati Hartono bahwa penegakan the rule of law, jika tidak diartikan sebagai the rule of just law, yang diartikan juga sebagai the rule of social justice, maka penegakkan the rule of law itu dapat menimbulkan suatu Negara kekuasaan (machstaat). Bahkan dapat merupakan alat bagi penguasa (the rulling class) untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya[14].

T. D. Weldon juga memberikan pengertian mengenai Negara yang menganut paham the rule of law yang berarti Negara tersebut tidak hanya memiliki suatu peradilan yang sempurna diatas kertas saja, akan tetapi ada atau tidaknya the rule of law dalam suatu Negara tergantung daripada kenyataan apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahnya[15].

Prof. Sunarjati juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan the rule of law tidak hanya berarti pengadilan hanya berhak mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi diantara masyarakat, tetapi juga berwenang untuk mengawasi bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya, yang berarti bahwa pengadilan diposisikan sebagai satu-satunya instansi sekaligus instansi tertinggi (enigste en hoogste instantie) yang berwenang menentukan apakah tindakan-tindakan pemerintah itu benar dan berdasarkan hukum yang berlaku[16].

Hubungan antara penegakkan the rule of law dan Negara hukum itu terjadi, oleh karena hingga kini, baik Negara-negara dengan sistem hukum anglo saxon, maupun Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya melihat satu jalan untuk mencapai tujuannya yaitu menegakkan hukum yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial. Yaitu dengan memberi wewenang kepada pengadilan untuk mengawasi kebijakan pemerintah secara yuridis. Serta untuk menyelidiki apakah suatu undang-undang atau ketetapan pemerintah itu tidak inkonstitusional, atau apakah pejabat-pejabat pemerintah melakukan “onrechtmatige overheidsdaad” atau tidak[17].

Atau dengan kata lain bahwa hubungan antara the rule of law dengan konsep Negara hukum adalah diberikannya kewenangan kepada pengadilan untuk memutuskan apakah kebijaksanaan pemerintah itu adil dan sesuai dengan grundsnorm atau falsafah hukum dan Negara, yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.

Pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum adalah sebuah ciri khas dari paham konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional yang menghendaki adanya pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Prof. Miriam Budiarjo mengatakan bahwa pembatasan kekuasaan pemerintah oleh konstitusi disebut sebagai constitutional government atau limited government atau restrained government[18]. Lebih lanjut prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa yang dimaksud dengan paham konstitusionalisme adalah pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya[19]. Prof. Miriam Budiarjo juga mengatakan bahwa pada waktu demokrasi konstitusional ini muncul sebagai suatu program yang konkret, dianggap bahwa penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara haruslah diatur dengan sebuah konstitusi tertulis dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga Negara serta melakukan pemisahan kekuasaan Negara pada cabang-cabang kekuasaan Negara. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip inilah yang kemudian disebut dengan The rule of law[20]. Sehingga jika pengertian the rule of law ini dihubungkan dengan paham Negara hukum (rechstaat) dapatlah dikatakan bahwa the rule of law tidak lain daripada the rule of justice[21].



[1] Paul, Woodruff. First Democracy: The Challenge of an Ancient Idea, Oxford University Press, New York, 2005. Hlm. 114.

[2] Kelsen, General Theory of Law…..Hlm. 3.

[3] Ibid, hlm. 30-31.

[4] Jimly, Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Hlm. 13.

[5] Miriam, Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2006. Hlm. 50.

[6] Ibid, hlm. 107.

[7] Ibid, hlm. 113.

[8] Ibid,

[9] Ibid, hlm. 113-114.

[10] Ibid, hlm 115-116.

[11] International Commissions of Jurists, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, International Commissions of Jurists, Bangkok, 1965. Hlm. 39-50.

[12] Sunarjati, Hartono. Apakah The Rule of Law Itu?, Alumni, Bandung, 1976. Hlm. 28.

[13] Ibid,

[14] Ibid, hlm. 34

[15] Ibid, hlm. 31

[16] Sunaryati, Hartono, Op.cit. Hlm. 68.

[17] Ibid, hlm. 102.

[18] Ibid.

[19] Jimly, Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Hlm.19.

[20] Miriam, Budiarjo. Op.cit. Hlm. 108.

[21] Sunarjati, Hartono. Op.cit. Hlm. 109.

Minggu, 13 September 2009

PUTUSAN MK TENTANG PEMILU DENGAN SISTEM SUARA TERBANYAK

(legal policy kearah single member district method)

Pancasila sebagai dasar Negara yang menggambarkan karakter bangsa Indonesia dalam sila ke-4-nya menyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, hal ini dapat diartikan bahwa pancasila yang merupakan hasil consensus rakyat Indonesia menghendaki adanya suatu penyelenggaraan Negara oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan. Indonesia dalam konstitusinya yaitu UUD 1945 pada pasal 1 ayat (2) secara explicit mengatakan bahwa “ kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Ini artinya bahwa Indonesia menganut paham demokrasi (pemerintahan oleh rakyat).

Teori kedaulatan rakyat pada awalnya dikemukakan oleh Rousseau dimana terdapat kehendak umum (volonte generale) menciptakan Negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik dari pada kebebasan yang didapat berdasarkan kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila terdapat orang atau sekelompok orang yang tidak setuju dengan kehendak itu haruslah dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu. Secara singkat dapat Rousseau menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi adalah “the free will of all” untuk memantapkan keadilan dan moralitas tertinggi.

Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya yang berjudul pilar-pilar demokrasi, bahwa dalam arti yang lebih partisipatif demokrasi adalah sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya dipahami berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan itu pada dasarnya juga diperuntukkan untuk seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan Negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya[1].

Peran yang sangat penting untuk menunjang paham demokrasi di suatu Negara adalah partai politik. Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara[2]. Selain itu, Prof. I Gde Pantja Astawa dalam kuliah hukum tata Negara mengatakan bahwa fungsi-fungsi partai politik adalah :

1. Sebagai sarana pendidikan politik.

2. Organisasi yang menjalankan rekrutmen partai (Trans recruitment politic).

3. Organisasi yang mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan anggota partai.

4. Partai berperan sebagai “broker” atau perantara antara anggota partai dengan pihak pengambil keputusan.

5. Memperjuangkan kepentingan anggota partai secara keseluruhan.

Jika pendapat prof. Jimly dan Prof. I gde Pantja kita kaitkan maka apabila peran partai politik itu dimainkan dengan begitu baik, serta adanya dinamika partai yang sehat akan menciptakan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam masyarakat yang kemudian akan mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.

Masyarakat modern dewasa ini memiliki tingkat kehidupan yang sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan antar warga yang tidak merata dan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam mengakibatkan kedaulatan rakyat tidak dapat diterapkan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melauli sistem perwakilan (representation)[3]. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat yaitu melalui pemilihan umum (general elction)[4]. Dengan demikian, pemilu merupakan sebuah mekanisme untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh karena itu bagi Negara-negara yang menyebut dirinya sebagai Negara demokrasi, pemilihan umum (general elction) merupakan cirri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu[5]. Pemilihan umum di Indonesia diatur dalam konstitusi-nya dalam pasal 22E yang mengatakan bahwa pemilu dilkasanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengaturan lebih lanjut mengenai pemilu legislative diatur dalam Undang-undang No 10 tahun 2008. Dalam pasal 1 mengatakan bahwa:

  1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Arend Lijphart dalam bukunya patterns of democracy mengklasifikasikan metode pemilu (the election method) kedalam dua bentuk sederhana yaitu :

  1. Single member district method. Sistem ini menganut prinsip “the winner takes all”, prinsip ini merefleksikan prinsip filosofi dari mayoritas dimana kandidat yang mendapatkan suara terbanyak dari para pemilih akan menang, dan minoritas menjadi tidak terwakilkan. Namun Lipjhart juga mengatakan bahwa sistem ini memiliki kecenderungan “overrepresented” bagi konstituennya dalam parlemen.
  2. Proporsional representation. Sistem ini menghendaki baik mayoritas dan minoritas memilki jumlah keterwakilan di parlemen yang proporsional.[6]

Dalam prakteknya, metode-metode yang Lipjhart katakana memilki beberapa varian, salah satu contohnya adalah sistem proporsional semi terbuka dimana pemilih memilih kandidat wakilnya secara langsung namun tetap dibatasi oleh ketentuan nomor urut yang diberikan melalui mekanisme internal partai. Ketentuan itu dapat kita lihat dalam pasal 214 Undang-undang no 10 tahun 2008.

Kemudian ketentuan tersebut dibatalkan melalui putusan MK Nomor 22-24 / PUU-VI / 2008 yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum. Para pemohon mendalilkan alasan pengujian pasal tersebut atas dasar bahwa pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghalangi dan membatasi hak Pemohon untuk terpilih sebagai calon legislatif periode 2009-2014. Serta bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena pada dasarnya pemenang pemilihan umum haruslah didasarkan pada suara terbanyak, serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa :

1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan;

2. Bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja memberi warna dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Meskipun harus diakui perlunya dipelihara satu sistem rekrutmen pimpinan politik yang terutama diperankan oleh partai politik yang sehat, maka sebagai satu metode dan prosedur rekrutmen dalam sistem politik dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang jelas bahwa partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang dapat dipandang sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan, karena bukan hanya merupakan basic norm melainkan lebih dari itu merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut harus berdampingan, tidak boleh menafikan tetapi justru harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man);

3. keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

4. memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama.

Pada dasarnya peralihan sistem pemilihan proporsional dengan varian semi terbuka seperti yang diamanatkan oleh pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 menjadi sistem proporsional dengan varian terbuka merupakan sebuah politik hukum (legal policy) yang coba dibuat oleh MK untuk menuju sistem pemilihan distrik (single member district method). Legal policy menurut T. Muh. Radie adalah pernyataan kehendak dari penguasa Negara tentang hukum yang berlaku diwilayahnya (ius constitutum) dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan (ius constituendum). Penulis berpendapat bahwa legal policy yang dikeluarkan MK sebagai negative legislator menghendaki adanya kesederhanaan sistem pemilu di Negara Indonesia yang memiliki daerah yang sangat luas dan masyarakat yang heterogen sehingga dapat meminimalisir tindakan buruk partai politik yang “menaburkan” elit-elit partainya dari pusat untuk mewakili daerah yang bahkan kandidat partai tersebut sama sekali bukan warga asli daerah tersebut. Sistem nomor urut juga sangat rawan akan resiko politik jual beli nomor urut di dalam partai itu sendiri (politik dagang sapi). Alasan lain baiknya mekanisme suara terbanyak ini juga adalah bahwa mekanisme ini akan membuat sistem kepartaian yang lebih kuat serta memastikan perwakilan yang seimbang dari masing-masing daerah dikarenakan rakyat memilih langsung wakilnya. Dengan sistem distrik sebenarnya akan mendorong adanya peningkatan derajat keterwakilan rakyat di parlemen, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa fungsi palemen yang utama sesungguhnya adalah fungsi perwakilan. Perwakilan yang dimaksud bukan hanya sebatas representation in present tetapi juga representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, artinya ada keterwakilan secara fisik, sedangkan yang kedua adalah keterwakilan yang bersifat substantive, artinya kepentingan rakyat sudah tersalur ketika aspirasi, nilai, dan pendapat rakyat sudah diperjuangkan secara benar dan berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan tersebut[7]. Dengan kata lain mekanisme ini sesungguhnya menciptakan adanya hubungan emosional yang kuat antara wakil rakyat dengan konstituennya.

Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan di Indonesia yang secara implisit dalam UUD 1945 adalah menganut sistem pemerintahan presidensil bahwa sistem pemerintahan presidensil menghendaki adanya stabilitas pemerintahan yang kuat. Prof. Bagir manan dalam kuliahnya mengatakan bahwa sistem distrik akan mendorong adanya penyederhanaan sistem kepartaian yang ada, artinya akan ada suatu pengerucutan atau peleburan (konvergensi) partai-partai kecil yang tidak pernah mendapat suara kedalam partai yang lebih besar yang memilki paling tidak kesamaan dalam hal platform partai. Dampak yang diharapkan terjadi adalah terciptanya sistem kepartaian biparty atau sistem dua partai seperti yang dianut Amerika. Arend Lipjhart megatakan bahwa sistem kepartaian dua partai ini memiliki keuntungan baik langsung maupun tidak langsung yang menunjang sistem presidensil berupa :

1. Sistem ini menawarkan kepada konstituen hanya dua alternative kebijakan public (public policy).

2. Akan timbul suatu persaingan yang secara sehat dalam memperebutkan suara “swing voters”.

3. Akan ada satu partai yang dominan di parlemen sehingga akan membuat kabinet lebih stabil dan mampu membuat kebijakan publik secara efektif[8]

Penerapan sistem distrik dalam sistem pemilu di Indonesia penulis anggap sebagai suatu hal yang merupakan terobosan penting dalam hal legal policy demi menuju Demokrasi dan sistem pemerintahan yang lebih sehat dan baik.



[1] Jimly, Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. hlm. 241.

[2] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2, KOnstitusi Press, Jakarta, 2006. hlm. 153.

[3] Ibid, hlm. 169

[4] Ibid, hlm. 170

[5] Ibid,

[6] Arend, Lipjhart, Patterns of Democracy, Yale University Press, New Haven and London, 1999. hlm. 143.

[7] Jimly, Ashhiddiqie, op.cit, hlm. 39.

[8] Arend, Lipjhart, op,cit. hlm. 62.