Senin, 28 September 2009

THE RULE OF LAW

Paul Woodruff mengatakan bahwa dalam masa demokrasi di zaman Yunani telah berkembang sebuah konsep tentang hukum suatu bangsa, dimana hukum harus digunakan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat, dan konsep tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan nomos (hukum)[1]. Hans Kelsen memberikan sebuah teori tentang hukum, bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perliaku-perilaku manusia[2]. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memilki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem[3]. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja[4].

Nomos yang dalam sejarah Yunani kuno bertujuan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat pada dasarnya adalah bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap sifat-sifat Negara yang tidak dimiliki oleh organisasi lainnya. Menurut Prof. Miriam Budiarjo, sifat-sifat Negara tersebut adalah :

1. Sifat memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah. Sifat memaksa ini dapat diartikan juga bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal.

2. Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.

3. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua tanpa terkecuali[5].

Dikarenakan kekuasaan Negara yang begitu besar ini maka munculah gagasan mengenai pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum untuk mengurangi kemungkinan kekuasaan suatu Negara berkembang menjadi tidak terbatas dan sewenang-wenang.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan ini pernah dirumuskan oleh ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyhur sebagai berikut: “ Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely)”.[6]

Oleh karena hukum dijadikan sebagai perwujudan dari kekuasaan tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah maka dapat diartikan pula sebagai konsep Negara hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum, bukan manusia (government by laws, not by men).[7]

Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya mengatakan bahwa ahli-ahli hukum dari Eropa Barat Kontinental seperti Friedrich Julius Stahl memakai istilah rechstaat untuk konsep Negara hukum. Menurut Stahl terdapat empat unsur yang ada dalam rechtstaat dalam arti klasik, yaitu:

1. Hak-hak manusia.

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (dalam Negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politika)

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (vetmatigheid van bestuur)

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.[8]

Selain daripada itu, Prof Miriam Budiarjo mengatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law dalam arti yang klasik dalam Negara-negara anglo saxon yang dikemukakan oleh A. V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik bagi orang biasa, maupun pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.[9]

Kedua rumusan rechstaat dan rule of law diatas sangatlah dipengaruhi keadaan saat itu berupa prinsip Negara sebagai penjaga malam (nachtwacherstaat) yang dirumuskan dengan dalil “the best government is the least government”. Sesuai dengan berkembangnya paham Negara kesejahteraan (walfare state) pada awal abad ke-20 maka diperlukan perkembangan gagasan rule of law yang dikumukakan oleh A. V. Dicey yang dirumuskan melalui International Commission of Jurist dalam konverensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang memperluas konsep mengenai the rule of law, dan menekankan the dynamic aspects of the rule of law in the modern age[10]. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law ialah :

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (Independent and impartial tribunals).

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.

6. Pendidikan kewarganegaraan (civil education)[11].

Arti dari pengertian the rule of law ini menurut Prof. Sunarjati Hartono yang mengutip pendapat yang digunakan Friedman bahwa kata “rule of law” dapat dipakai dalam arti formil (in the formal sense) dan dalam arti materiil (ideological sense)[12]. Dalam arti formil ini maka the rule of law adalah “orgenised public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Sedangkan dalam arti materil, the rule of law adalah berbicara tentang just law (hukum yang mengandung keadilan)[13]. Sehingga menurut Prof. Sunarjati Hartono bahwa penegakan the rule of law, jika tidak diartikan sebagai the rule of just law, yang diartikan juga sebagai the rule of social justice, maka penegakkan the rule of law itu dapat menimbulkan suatu Negara kekuasaan (machstaat). Bahkan dapat merupakan alat bagi penguasa (the rulling class) untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya[14].

T. D. Weldon juga memberikan pengertian mengenai Negara yang menganut paham the rule of law yang berarti Negara tersebut tidak hanya memiliki suatu peradilan yang sempurna diatas kertas saja, akan tetapi ada atau tidaknya the rule of law dalam suatu Negara tergantung daripada kenyataan apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahnya[15].

Prof. Sunarjati juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan the rule of law tidak hanya berarti pengadilan hanya berhak mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi diantara masyarakat, tetapi juga berwenang untuk mengawasi bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya, yang berarti bahwa pengadilan diposisikan sebagai satu-satunya instansi sekaligus instansi tertinggi (enigste en hoogste instantie) yang berwenang menentukan apakah tindakan-tindakan pemerintah itu benar dan berdasarkan hukum yang berlaku[16].

Hubungan antara penegakkan the rule of law dan Negara hukum itu terjadi, oleh karena hingga kini, baik Negara-negara dengan sistem hukum anglo saxon, maupun Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya melihat satu jalan untuk mencapai tujuannya yaitu menegakkan hukum yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial. Yaitu dengan memberi wewenang kepada pengadilan untuk mengawasi kebijakan pemerintah secara yuridis. Serta untuk menyelidiki apakah suatu undang-undang atau ketetapan pemerintah itu tidak inkonstitusional, atau apakah pejabat-pejabat pemerintah melakukan “onrechtmatige overheidsdaad” atau tidak[17].

Atau dengan kata lain bahwa hubungan antara the rule of law dengan konsep Negara hukum adalah diberikannya kewenangan kepada pengadilan untuk memutuskan apakah kebijaksanaan pemerintah itu adil dan sesuai dengan grundsnorm atau falsafah hukum dan Negara, yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.

Pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum adalah sebuah ciri khas dari paham konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional yang menghendaki adanya pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Prof. Miriam Budiarjo mengatakan bahwa pembatasan kekuasaan pemerintah oleh konstitusi disebut sebagai constitutional government atau limited government atau restrained government[18]. Lebih lanjut prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa yang dimaksud dengan paham konstitusionalisme adalah pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya[19]. Prof. Miriam Budiarjo juga mengatakan bahwa pada waktu demokrasi konstitusional ini muncul sebagai suatu program yang konkret, dianggap bahwa penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara haruslah diatur dengan sebuah konstitusi tertulis dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga Negara serta melakukan pemisahan kekuasaan Negara pada cabang-cabang kekuasaan Negara. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip inilah yang kemudian disebut dengan The rule of law[20]. Sehingga jika pengertian the rule of law ini dihubungkan dengan paham Negara hukum (rechstaat) dapatlah dikatakan bahwa the rule of law tidak lain daripada the rule of justice[21].



[1] Paul, Woodruff. First Democracy: The Challenge of an Ancient Idea, Oxford University Press, New York, 2005. Hlm. 114.

[2] Kelsen, General Theory of Law…..Hlm. 3.

[3] Ibid, hlm. 30-31.

[4] Jimly, Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Hlm. 13.

[5] Miriam, Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2006. Hlm. 50.

[6] Ibid, hlm. 107.

[7] Ibid, hlm. 113.

[8] Ibid,

[9] Ibid, hlm. 113-114.

[10] Ibid, hlm 115-116.

[11] International Commissions of Jurists, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, International Commissions of Jurists, Bangkok, 1965. Hlm. 39-50.

[12] Sunarjati, Hartono. Apakah The Rule of Law Itu?, Alumni, Bandung, 1976. Hlm. 28.

[13] Ibid,

[14] Ibid, hlm. 34

[15] Ibid, hlm. 31

[16] Sunaryati, Hartono, Op.cit. Hlm. 68.

[17] Ibid, hlm. 102.

[18] Ibid.

[19] Jimly, Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Hlm.19.

[20] Miriam, Budiarjo. Op.cit. Hlm. 108.

[21] Sunarjati, Hartono. Op.cit. Hlm. 109.

Minggu, 13 September 2009

PUTUSAN MK TENTANG PEMILU DENGAN SISTEM SUARA TERBANYAK

(legal policy kearah single member district method)

Pancasila sebagai dasar Negara yang menggambarkan karakter bangsa Indonesia dalam sila ke-4-nya menyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, hal ini dapat diartikan bahwa pancasila yang merupakan hasil consensus rakyat Indonesia menghendaki adanya suatu penyelenggaraan Negara oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan. Indonesia dalam konstitusinya yaitu UUD 1945 pada pasal 1 ayat (2) secara explicit mengatakan bahwa “ kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Ini artinya bahwa Indonesia menganut paham demokrasi (pemerintahan oleh rakyat).

Teori kedaulatan rakyat pada awalnya dikemukakan oleh Rousseau dimana terdapat kehendak umum (volonte generale) menciptakan Negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik dari pada kebebasan yang didapat berdasarkan kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila terdapat orang atau sekelompok orang yang tidak setuju dengan kehendak itu haruslah dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu. Secara singkat dapat Rousseau menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi adalah “the free will of all” untuk memantapkan keadilan dan moralitas tertinggi.

Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya yang berjudul pilar-pilar demokrasi, bahwa dalam arti yang lebih partisipatif demokrasi adalah sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya dipahami berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan itu pada dasarnya juga diperuntukkan untuk seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan Negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya[1].

Peran yang sangat penting untuk menunjang paham demokrasi di suatu Negara adalah partai politik. Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara[2]. Selain itu, Prof. I Gde Pantja Astawa dalam kuliah hukum tata Negara mengatakan bahwa fungsi-fungsi partai politik adalah :

1. Sebagai sarana pendidikan politik.

2. Organisasi yang menjalankan rekrutmen partai (Trans recruitment politic).

3. Organisasi yang mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan anggota partai.

4. Partai berperan sebagai “broker” atau perantara antara anggota partai dengan pihak pengambil keputusan.

5. Memperjuangkan kepentingan anggota partai secara keseluruhan.

Jika pendapat prof. Jimly dan Prof. I gde Pantja kita kaitkan maka apabila peran partai politik itu dimainkan dengan begitu baik, serta adanya dinamika partai yang sehat akan menciptakan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam masyarakat yang kemudian akan mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.

Masyarakat modern dewasa ini memiliki tingkat kehidupan yang sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan antar warga yang tidak merata dan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam mengakibatkan kedaulatan rakyat tidak dapat diterapkan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melauli sistem perwakilan (representation)[3]. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat yaitu melalui pemilihan umum (general elction)[4]. Dengan demikian, pemilu merupakan sebuah mekanisme untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh karena itu bagi Negara-negara yang menyebut dirinya sebagai Negara demokrasi, pemilihan umum (general elction) merupakan cirri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu[5]. Pemilihan umum di Indonesia diatur dalam konstitusi-nya dalam pasal 22E yang mengatakan bahwa pemilu dilkasanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengaturan lebih lanjut mengenai pemilu legislative diatur dalam Undang-undang No 10 tahun 2008. Dalam pasal 1 mengatakan bahwa:

  1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Arend Lijphart dalam bukunya patterns of democracy mengklasifikasikan metode pemilu (the election method) kedalam dua bentuk sederhana yaitu :

  1. Single member district method. Sistem ini menganut prinsip “the winner takes all”, prinsip ini merefleksikan prinsip filosofi dari mayoritas dimana kandidat yang mendapatkan suara terbanyak dari para pemilih akan menang, dan minoritas menjadi tidak terwakilkan. Namun Lipjhart juga mengatakan bahwa sistem ini memiliki kecenderungan “overrepresented” bagi konstituennya dalam parlemen.
  2. Proporsional representation. Sistem ini menghendaki baik mayoritas dan minoritas memilki jumlah keterwakilan di parlemen yang proporsional.[6]

Dalam prakteknya, metode-metode yang Lipjhart katakana memilki beberapa varian, salah satu contohnya adalah sistem proporsional semi terbuka dimana pemilih memilih kandidat wakilnya secara langsung namun tetap dibatasi oleh ketentuan nomor urut yang diberikan melalui mekanisme internal partai. Ketentuan itu dapat kita lihat dalam pasal 214 Undang-undang no 10 tahun 2008.

Kemudian ketentuan tersebut dibatalkan melalui putusan MK Nomor 22-24 / PUU-VI / 2008 yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum. Para pemohon mendalilkan alasan pengujian pasal tersebut atas dasar bahwa pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghalangi dan membatasi hak Pemohon untuk terpilih sebagai calon legislatif periode 2009-2014. Serta bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena pada dasarnya pemenang pemilihan umum haruslah didasarkan pada suara terbanyak, serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa :

1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan;

2. Bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja memberi warna dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Meskipun harus diakui perlunya dipelihara satu sistem rekrutmen pimpinan politik yang terutama diperankan oleh partai politik yang sehat, maka sebagai satu metode dan prosedur rekrutmen dalam sistem politik dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang jelas bahwa partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang dapat dipandang sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan, karena bukan hanya merupakan basic norm melainkan lebih dari itu merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut harus berdampingan, tidak boleh menafikan tetapi justru harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man);

3. keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

4. memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama.

Pada dasarnya peralihan sistem pemilihan proporsional dengan varian semi terbuka seperti yang diamanatkan oleh pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 menjadi sistem proporsional dengan varian terbuka merupakan sebuah politik hukum (legal policy) yang coba dibuat oleh MK untuk menuju sistem pemilihan distrik (single member district method). Legal policy menurut T. Muh. Radie adalah pernyataan kehendak dari penguasa Negara tentang hukum yang berlaku diwilayahnya (ius constitutum) dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan (ius constituendum). Penulis berpendapat bahwa legal policy yang dikeluarkan MK sebagai negative legislator menghendaki adanya kesederhanaan sistem pemilu di Negara Indonesia yang memiliki daerah yang sangat luas dan masyarakat yang heterogen sehingga dapat meminimalisir tindakan buruk partai politik yang “menaburkan” elit-elit partainya dari pusat untuk mewakili daerah yang bahkan kandidat partai tersebut sama sekali bukan warga asli daerah tersebut. Sistem nomor urut juga sangat rawan akan resiko politik jual beli nomor urut di dalam partai itu sendiri (politik dagang sapi). Alasan lain baiknya mekanisme suara terbanyak ini juga adalah bahwa mekanisme ini akan membuat sistem kepartaian yang lebih kuat serta memastikan perwakilan yang seimbang dari masing-masing daerah dikarenakan rakyat memilih langsung wakilnya. Dengan sistem distrik sebenarnya akan mendorong adanya peningkatan derajat keterwakilan rakyat di parlemen, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa fungsi palemen yang utama sesungguhnya adalah fungsi perwakilan. Perwakilan yang dimaksud bukan hanya sebatas representation in present tetapi juga representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, artinya ada keterwakilan secara fisik, sedangkan yang kedua adalah keterwakilan yang bersifat substantive, artinya kepentingan rakyat sudah tersalur ketika aspirasi, nilai, dan pendapat rakyat sudah diperjuangkan secara benar dan berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan tersebut[7]. Dengan kata lain mekanisme ini sesungguhnya menciptakan adanya hubungan emosional yang kuat antara wakil rakyat dengan konstituennya.

Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan di Indonesia yang secara implisit dalam UUD 1945 adalah menganut sistem pemerintahan presidensil bahwa sistem pemerintahan presidensil menghendaki adanya stabilitas pemerintahan yang kuat. Prof. Bagir manan dalam kuliahnya mengatakan bahwa sistem distrik akan mendorong adanya penyederhanaan sistem kepartaian yang ada, artinya akan ada suatu pengerucutan atau peleburan (konvergensi) partai-partai kecil yang tidak pernah mendapat suara kedalam partai yang lebih besar yang memilki paling tidak kesamaan dalam hal platform partai. Dampak yang diharapkan terjadi adalah terciptanya sistem kepartaian biparty atau sistem dua partai seperti yang dianut Amerika. Arend Lipjhart megatakan bahwa sistem kepartaian dua partai ini memiliki keuntungan baik langsung maupun tidak langsung yang menunjang sistem presidensil berupa :

1. Sistem ini menawarkan kepada konstituen hanya dua alternative kebijakan public (public policy).

2. Akan timbul suatu persaingan yang secara sehat dalam memperebutkan suara “swing voters”.

3. Akan ada satu partai yang dominan di parlemen sehingga akan membuat kabinet lebih stabil dan mampu membuat kebijakan publik secara efektif[8]

Penerapan sistem distrik dalam sistem pemilu di Indonesia penulis anggap sebagai suatu hal yang merupakan terobosan penting dalam hal legal policy demi menuju Demokrasi dan sistem pemerintahan yang lebih sehat dan baik.



[1] Jimly, Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. hlm. 241.

[2] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2, KOnstitusi Press, Jakarta, 2006. hlm. 153.

[3] Ibid, hlm. 169

[4] Ibid, hlm. 170

[5] Ibid,

[6] Arend, Lipjhart, Patterns of Democracy, Yale University Press, New Haven and London, 1999. hlm. 143.

[7] Jimly, Ashhiddiqie, op.cit, hlm. 39.

[8] Arend, Lipjhart, op,cit. hlm. 62.