Minggu, 13 September 2009

PUTUSAN MK TENTANG PEMILU DENGAN SISTEM SUARA TERBANYAK

(legal policy kearah single member district method)

Pancasila sebagai dasar Negara yang menggambarkan karakter bangsa Indonesia dalam sila ke-4-nya menyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, hal ini dapat diartikan bahwa pancasila yang merupakan hasil consensus rakyat Indonesia menghendaki adanya suatu penyelenggaraan Negara oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan. Indonesia dalam konstitusinya yaitu UUD 1945 pada pasal 1 ayat (2) secara explicit mengatakan bahwa “ kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Ini artinya bahwa Indonesia menganut paham demokrasi (pemerintahan oleh rakyat).

Teori kedaulatan rakyat pada awalnya dikemukakan oleh Rousseau dimana terdapat kehendak umum (volonte generale) menciptakan Negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik dari pada kebebasan yang didapat berdasarkan kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila terdapat orang atau sekelompok orang yang tidak setuju dengan kehendak itu haruslah dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu. Secara singkat dapat Rousseau menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi adalah “the free will of all” untuk memantapkan keadilan dan moralitas tertinggi.

Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya yang berjudul pilar-pilar demokrasi, bahwa dalam arti yang lebih partisipatif demokrasi adalah sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya dipahami berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan itu pada dasarnya juga diperuntukkan untuk seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan Negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya[1].

Peran yang sangat penting untuk menunjang paham demokrasi di suatu Negara adalah partai politik. Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara[2]. Selain itu, Prof. I Gde Pantja Astawa dalam kuliah hukum tata Negara mengatakan bahwa fungsi-fungsi partai politik adalah :

1. Sebagai sarana pendidikan politik.

2. Organisasi yang menjalankan rekrutmen partai (Trans recruitment politic).

3. Organisasi yang mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan anggota partai.

4. Partai berperan sebagai “broker” atau perantara antara anggota partai dengan pihak pengambil keputusan.

5. Memperjuangkan kepentingan anggota partai secara keseluruhan.

Jika pendapat prof. Jimly dan Prof. I gde Pantja kita kaitkan maka apabila peran partai politik itu dimainkan dengan begitu baik, serta adanya dinamika partai yang sehat akan menciptakan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam masyarakat yang kemudian akan mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.

Masyarakat modern dewasa ini memiliki tingkat kehidupan yang sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan antar warga yang tidak merata dan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam mengakibatkan kedaulatan rakyat tidak dapat diterapkan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melauli sistem perwakilan (representation)[3]. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat yaitu melalui pemilihan umum (general elction)[4]. Dengan demikian, pemilu merupakan sebuah mekanisme untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh karena itu bagi Negara-negara yang menyebut dirinya sebagai Negara demokrasi, pemilihan umum (general elction) merupakan cirri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu[5]. Pemilihan umum di Indonesia diatur dalam konstitusi-nya dalam pasal 22E yang mengatakan bahwa pemilu dilkasanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengaturan lebih lanjut mengenai pemilu legislative diatur dalam Undang-undang No 10 tahun 2008. Dalam pasal 1 mengatakan bahwa:

  1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Arend Lijphart dalam bukunya patterns of democracy mengklasifikasikan metode pemilu (the election method) kedalam dua bentuk sederhana yaitu :

  1. Single member district method. Sistem ini menganut prinsip “the winner takes all”, prinsip ini merefleksikan prinsip filosofi dari mayoritas dimana kandidat yang mendapatkan suara terbanyak dari para pemilih akan menang, dan minoritas menjadi tidak terwakilkan. Namun Lipjhart juga mengatakan bahwa sistem ini memiliki kecenderungan “overrepresented” bagi konstituennya dalam parlemen.
  2. Proporsional representation. Sistem ini menghendaki baik mayoritas dan minoritas memilki jumlah keterwakilan di parlemen yang proporsional.[6]

Dalam prakteknya, metode-metode yang Lipjhart katakana memilki beberapa varian, salah satu contohnya adalah sistem proporsional semi terbuka dimana pemilih memilih kandidat wakilnya secara langsung namun tetap dibatasi oleh ketentuan nomor urut yang diberikan melalui mekanisme internal partai. Ketentuan itu dapat kita lihat dalam pasal 214 Undang-undang no 10 tahun 2008.

Kemudian ketentuan tersebut dibatalkan melalui putusan MK Nomor 22-24 / PUU-VI / 2008 yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum. Para pemohon mendalilkan alasan pengujian pasal tersebut atas dasar bahwa pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghalangi dan membatasi hak Pemohon untuk terpilih sebagai calon legislatif periode 2009-2014. Serta bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena pada dasarnya pemenang pemilihan umum haruslah didasarkan pada suara terbanyak, serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa :

1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan;

2. Bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja memberi warna dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Meskipun harus diakui perlunya dipelihara satu sistem rekrutmen pimpinan politik yang terutama diperankan oleh partai politik yang sehat, maka sebagai satu metode dan prosedur rekrutmen dalam sistem politik dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang jelas bahwa partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang dapat dipandang sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan, karena bukan hanya merupakan basic norm melainkan lebih dari itu merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut harus berdampingan, tidak boleh menafikan tetapi justru harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man);

3. keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

4. memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama.

Pada dasarnya peralihan sistem pemilihan proporsional dengan varian semi terbuka seperti yang diamanatkan oleh pasal 214 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 menjadi sistem proporsional dengan varian terbuka merupakan sebuah politik hukum (legal policy) yang coba dibuat oleh MK untuk menuju sistem pemilihan distrik (single member district method). Legal policy menurut T. Muh. Radie adalah pernyataan kehendak dari penguasa Negara tentang hukum yang berlaku diwilayahnya (ius constitutum) dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan (ius constituendum). Penulis berpendapat bahwa legal policy yang dikeluarkan MK sebagai negative legislator menghendaki adanya kesederhanaan sistem pemilu di Negara Indonesia yang memiliki daerah yang sangat luas dan masyarakat yang heterogen sehingga dapat meminimalisir tindakan buruk partai politik yang “menaburkan” elit-elit partainya dari pusat untuk mewakili daerah yang bahkan kandidat partai tersebut sama sekali bukan warga asli daerah tersebut. Sistem nomor urut juga sangat rawan akan resiko politik jual beli nomor urut di dalam partai itu sendiri (politik dagang sapi). Alasan lain baiknya mekanisme suara terbanyak ini juga adalah bahwa mekanisme ini akan membuat sistem kepartaian yang lebih kuat serta memastikan perwakilan yang seimbang dari masing-masing daerah dikarenakan rakyat memilih langsung wakilnya. Dengan sistem distrik sebenarnya akan mendorong adanya peningkatan derajat keterwakilan rakyat di parlemen, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa fungsi palemen yang utama sesungguhnya adalah fungsi perwakilan. Perwakilan yang dimaksud bukan hanya sebatas representation in present tetapi juga representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, artinya ada keterwakilan secara fisik, sedangkan yang kedua adalah keterwakilan yang bersifat substantive, artinya kepentingan rakyat sudah tersalur ketika aspirasi, nilai, dan pendapat rakyat sudah diperjuangkan secara benar dan berhasil ditetapkan sebagai kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan tersebut[7]. Dengan kata lain mekanisme ini sesungguhnya menciptakan adanya hubungan emosional yang kuat antara wakil rakyat dengan konstituennya.

Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan di Indonesia yang secara implisit dalam UUD 1945 adalah menganut sistem pemerintahan presidensil bahwa sistem pemerintahan presidensil menghendaki adanya stabilitas pemerintahan yang kuat. Prof. Bagir manan dalam kuliahnya mengatakan bahwa sistem distrik akan mendorong adanya penyederhanaan sistem kepartaian yang ada, artinya akan ada suatu pengerucutan atau peleburan (konvergensi) partai-partai kecil yang tidak pernah mendapat suara kedalam partai yang lebih besar yang memilki paling tidak kesamaan dalam hal platform partai. Dampak yang diharapkan terjadi adalah terciptanya sistem kepartaian biparty atau sistem dua partai seperti yang dianut Amerika. Arend Lipjhart megatakan bahwa sistem kepartaian dua partai ini memiliki keuntungan baik langsung maupun tidak langsung yang menunjang sistem presidensil berupa :

1. Sistem ini menawarkan kepada konstituen hanya dua alternative kebijakan public (public policy).

2. Akan timbul suatu persaingan yang secara sehat dalam memperebutkan suara “swing voters”.

3. Akan ada satu partai yang dominan di parlemen sehingga akan membuat kabinet lebih stabil dan mampu membuat kebijakan publik secara efektif[8]

Penerapan sistem distrik dalam sistem pemilu di Indonesia penulis anggap sebagai suatu hal yang merupakan terobosan penting dalam hal legal policy demi menuju Demokrasi dan sistem pemerintahan yang lebih sehat dan baik.



[1] Jimly, Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. hlm. 241.

[2] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2, KOnstitusi Press, Jakarta, 2006. hlm. 153.

[3] Ibid, hlm. 169

[4] Ibid, hlm. 170

[5] Ibid,

[6] Arend, Lipjhart, Patterns of Democracy, Yale University Press, New Haven and London, 1999. hlm. 143.

[7] Jimly, Ashhiddiqie, op.cit, hlm. 39.

[8] Arend, Lipjhart, op,cit. hlm. 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar