Minggu, 13 Desember 2009

Diterbitkan dalam Harian Seputar Indonesia edisi 14 Oktober 2009


Pemberantasan korupsi memang menjadi agenda utama dalam membentuk pemerintahan yang bersih dan kuat (clean and strong governance). Praktek-praktek korupsi di kalangan aparat penegak hukum akhirnya memaksa pemerintah membentuk sebuah lembaga yang bersifat independent (independent and self regulatory body) yang bernama KPK. Urgensi pemberantasan korupsi dengan instrumen KPK memang sangat diperlukan bangsa ini, mengingat korupsi telah menjadi sebuah culture bangsa yang akan sangat sulit dipangkas habis. Namun pemberantasan korupsi di negara ini dengan instrumen KPK tidak serta merta harus dilakukan secara "membabi buta". Prinsip-prinsip limited government atau pembatasan kekuasaan oleh hukum haruslah selalu diutamakan. Hukum harus menjadi panglima dalam memutuskan arah pemberantasan korupsi di negara ini. Lord acton mengatakan bahwa "power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely"...ini menggambarkan bahwa kekuasaan yang sangat besar akan berujung pada tirani dan kelaliman.

Prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan tidak hanya harus diterapkan pada negara, tetapi juga instansi atau lembaga-lembaga-nya termasuk KPK. Diperlukan sebuah formula yang tepat untuk menjaga eksistensi KPK agar tidak menjadi lembaga yang superbody. Kewenangan-kewenangan KPK seperti kewenangan untuk menyadap perlu untuk diberikan pengawasan sebagai penyeimbang (balancing) dari kewenangan itu, sehingga hak-hak asasi bahkan hak konstitusional warga negara tetap terjaga. Memang KPK sudah memiliki mekanisme pengawasan internal, namun seberapa efektif pengawasan internal tersebut dapat meredam KPK???

Sebagai perbandingan, aparat penegak hukum di Australia dalam kewenangannya menyadap telah diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga setipe dengan ombudsman di Indonesia. Hal ini patut kita tiru demi eksistensi KPK untuk pemberantasan korupsi tanpa mencederai prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan. Selain itu, diperlukannya pengekangan diri (self restraint doctrine) bagi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugasnya. Hal ini berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan, bahwa kewenangan suatu lembaga tidak seharusnya kemudian menjatuhkan wibawa lembaga lainnya. Prinsip pengekangan diri ini pun pada dasarnya adalah sebagai prinsip yang melekat pada sistem pemisahan kekuasaan di Amerika dan merupakan pelengkap dari mekanisme check and balances. Akhirnya kita semua harus sadar bahwa korupsi memang merampas hak-hak rakyat untuk sejahtera, namun pemberantasannya pun harus disertai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang elegan dan prinsip the rule of law, not of man. Demokrasi akan kita miliki jika kita menggenggamnya.

NILAI SEBUAH KONSTITUSI

Brian Thompson memberikan definisi konstitusi sebagai “a document wich containts the rules for the operation of the organitation[1]. Dalam konteks Negara sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi menurut Ivo D Duhacek adalah “ identify the source, purposes, uses, and restraint of public power”[2] yang berarti konstitusi merupakan sarana untuk mengidentifikasi sumber, tujuan, penggunaan serta pembatasan terhadap kekuasaan umum. Sehingga konstitusi yang memuat nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan juga keinginan yang merupakan kehendak masyarakat (general agreement) untuk dijalankan oleh Negara memiliki fungsi-fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie berupa :

1. fungsi penentu dan pembatas kekuasaan Negara.

2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara.

3. Fungsi pengatur hubungan antara organ Negara dengan warga Negara.

4. Fungsi pemberi atau legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara.

5. Fungsi pengatur dan pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli.

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu.

7. Identity of nation.

8. Center of ceremony.

9. Social control.

10. Social engineering.[3]

Berkenaan dengan nilai yang mengandung fungsi-fungsi tersebut maka Karl Loewenstein dalam bukunya reflection on the value of constitution membedakan tiga macam nilai atau value of the constitution berupa :

  1. Normative Value. Yaitu, jika norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi tersebut dikatakan memiliki nilai yang normatif.
  2. Nominal Value. Yaitu, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, maka konstitusi tersebut dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal.
  3. Semantical Value. Yaitu, konstitusi yang norma-norma yang terkandung didalamnya hanya dihargai diatas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis atau sebatas alat pembenar belaka, bahkan dikutip dan dijadikan dasar pembenar belaka dalam pengambilan kebijakan, tetapi isi kebijakan tersebut sama sekali tidak mengamalkan amanat norma yang dikutipnya maka konstitusi tersebut bernilai semantik.[4]

Jika kita melihat praktek-praktek ketatanegaraan yang ada ataupun kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat norma-norma di dalam konstitusi yang telah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi namun ada juga hal-hal yang belum dijalankan. Hanya saja penulis berangapan bahwa tidak ditaatinya norma-norma tersebut berusaha untuk dibuat terselubung oleh pemerintah dengan diamanatkannya pembentukan undang-undang organik bagi pasal-pasal tertentu seperti pasal 34. Fakir miskin dan anak terlantar seharusnya dipelihara negara, namun dalam kenyataannya begitu banyak pekerja anak yang seolah tidak tersentuh tangan kebijakan pemerintah. Undang-Undang Dasar juga mengamanatkan adanya jaminan sosial serta jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, namun amanat konstitusi ini pun belum dapat dirasakan oleh rakyat. Hak kesehatan dan hak warga Negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat belum dapat dirasakan di negeri ini. Sehingga kesimpulan awal yang dapat diambil adalah bahwa konstitusi Indonesia bernilai nominal.

Namun, pasca perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dipegang oleh mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Fungsi mahkamah konstitusi adalah sebagai the guardian of constitution, artinya bahwa konstitusi sebenarnya menghendaki adanya pengawasan oleh lembaga kehakiman demi terciptanya nilai konstitusi yang normatif. MK berpendapat bahwa hak-hak konstitusional warga Negara merupakan amanat konstitusi merupakan hak yang bersifat mengikat secara hukum, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak tersebut tidak dapat ditunda-tunda pelaksanaannya, seperti yang Prof. Sunaryati Hartono dalam bukunya “Apakah The Rule of Law itu?” katakan bahwa justice delayed is justice denied”. Sehingga dengaan adanya eksistensi MK dalam mengawal konstitusi yang mempunyai sifat putusan yang final and binding maka pada dasarnya nilai konstitusi kita sudahlah dapat dikatakan bernilai normatif. Sayangnya kewenangan MK untuk menafsirkan UUD bukanlah kewenangan yang berdiri sendiri melainkan kewenangan yang menempel pada kewenangan pengujian undang-undang (judicial review), sehingga MK hanya dapat melindungi nilai-nilai di dalam konstitusi berdasarkan kasus yang diterimanya untuk diadili.

Konstitusi kita pasca amandemen juga mencantumkan jaminan HAM dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Namun MK belum memiliki kewenangan constitutional complaint yang memungkinkan warga Negara dapat melakukan permohonan pemenuhan hak konstitutionalnya. Sehingga dengan kewenangan yang besar pada lembaga MK ini memungkinkan sekali untuk menjadikan nilai konstitusi kita bernilai normatif. Namun, yang harus diingat adalah bahwa konstitusi adalah hukum yang bersifat semu, artinya adalah bahwa pemenuhan norma-norma konstitusi oleh pemerintah tergantung kepada political will dari pemerintah untuk memenuhinya. Pemerintah tidak dapat dihukum apabila tidak memenuhi norma-norma dalam konstitusi tersebut. Bahkan ada adagium yang mengataan bahwa “seburuk-buruknya sebuah konstitusi, selama ia masih dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan maka akan cenderung dipertahankan”. Sehingga sangat sulit dan hal yang utopis jika mengatakan bahwa konstitusi kita bernilai normatif, karena keadaan social, politik serta ekonomi dalam masyarakat sangat jelas menggambarkan bahwa nilai konstitusi kita bernilai nominal.



[1] Jimly, Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15.

[2] Ibid, hlm. 17. Lihat juga Ivo D Duhacek, Constitution/Constitutionalism, Blackwell’s Encyclopedia of Political Science, Blackwell, Oxford, 1987, hlm. 142.

[3] Jimly, Op. cit. hlm. 27.

[4] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm, 135.

KONSTITUSI TIDAK TERTULIS

Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.[1] Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.[2]

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[3] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.

Oleh karena itu, karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).[4] Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.

Saat ini terdapat dua istilah, yakni konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Istilah UUD sering diartikan sama dengan konstitusi, apakah konstitusi=UUD ?. Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), terjemahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (grond= dasar; wet= undang-undang) , dan Grundgesetz (grund= dasar; gesetz= undang-undang ), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa pada dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai UUD-nya. Namun, dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J. van Apeldoorn) diadakan pembedaan antara pengertian UUD (grondwet) dan UUD (constitutie). UUD adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi[5], sedangkan Konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis[6].

Herman Heller membagi Konstitusi dalam tiga pengertian[7] :

  1. konstitusi mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum, melainkan konstitusi dalam pengertian sosiologis atau politis.
  2. orang mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum. Tugas mencari unsur-unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi.
  3. orang mulai menulis dalam suatu naskah sebagai UU yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Lalu apakah hubungan antara UUD dan Konstitusi yang dewasa ini sering disamaartikan ?, Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (1983), “ jika pengertian Undang-Undang Dasar itu harus dihubungkan dengan pengertian Konstitusi, maka arti Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian Konstitusi yaitu Konstitusi yang ditulis. Konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata tetapi juga sosiologis dan politis[8].

Membedakan secara prinsipil konstitusi tertulis (written constitution) dengan konstitusi tidak tertuli (unwritten constitution) adalah tidak tepat.[9]Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam satu naskah atau dalam beberapa naskah. Timbulnya konstitusi tertulis adalah pengaruh dari paham kodifikasi hukum. Salah satu negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris. Namun prinsip-prinsip konstitusi yang ada di Inggris dicantumkan dalam undang-undang seperti bill of rights.

Dengan demikian suatu konstitusi disebut tertulis jika ia dituliskan dalam satu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi disebut tidak tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang mengatur pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan diatur dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa.[10]

Konstitusi tidak tertulis disebut juga sebagai gerunds-norm atau norma dasar atau hukum dasar (basic principles). Dan tentunya norma-norma yang tidak tertulis ini merupakan norma hukum tata negara yang dianggap ideal sebagai norma konstitusi yang juga mengikat dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Nilai dan norma yang dimaksud dapat berupa pikiran-pikiran kolektif dan dapat pula berupa kenyataan-kenyataan perilaku yang hidup dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Oleh karena itulah Constitutional rules di tiap-tiap negara berbeda-beda dikarenakan adanya perbedaan constitutional culture pada setiap negara.[11]

Salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi ketatanegaraan (constitutional convention). Prof. Jimly Ashhiddiqie mengatakan dalam bukunya pengantar hukum tata negara jilid I bahwa konvensi ketatanegaraan tidak identik dengan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan. Dalam kebiasaan diperlukan adanya pengulangan secara terus-menerus, sedangkan dalam konvensi ketatanegaraan tidak diperlukan adanya pengulangan tersebut. Konvensi ketatanegaraan (the convention of constitution) dapat berbentuk kebiasaan ketatanegaraan atau praktek (practice) ataupun constitutional usage.[12] Sehingga yang terpenting dalam hal ini adalah kebiasaan, praktek, dan kelaziman maka konvensi merupakan hal yang secara moral dianggap baik. Prof. I Gde Pantja Astawa dalam kuliah hukum tata negara nya juga mendefinisikan konvensi sebagai hal yang terjadi berulang-ulang dalam ketatanegaraan sehingga diterima sebagai norma yang secara moral dikatakan baik. Sehingga sekalipun bukan merupakan konstitusi tertulis hal ini tetap dianggap penting secara konstitusional (constitutional meaningfull).

Prof .Jimly Ashhiddiqie mengatakan bahwa konvensi merupakan bagian dari konstitusi tidak tertulis yang juga harus ditaati. Namun juga dapat dirubah dengan cara melakukan penyimpangan terhadap norma konvensi tersebut hingga dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan yang baru.[13] Salah satu contoh konstitusi tidak tertulis adalah adanya pidato kenegaraan yang dilakukan presiden setiap tanggal 17 Agustus sejak masa orde lama hingga saat ini. Pada masa presiden Soekarno pidato tersebut merupakan hal yang bersifat simbolik sebagai bentuk pertanggungjawaban Soekarno sebagai pemimpin tertinggi revolusi kepada rakyat, sehingga pidato tersebut dilakukan di depan rakyat secara langsung. Pada masa orde baru, pidato kenegaraan berubah menjadi hal yang bersifat teknis karena dilakukan di depan rapat paripurna DPR yang dikaitkan dengan penyampaian nota keuangan dalam pengajuan APBN.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis berpendapat bahwa melakukan pembedaan konstitusi sebagai konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution) atau menyamakan konstitusi dengan UUD adalah tidak tepat dikarenakan pengertian konstitusi lebih luas ketimbang pengertian UUD. Konstitusi tidak hanya menjelma dalam UUD tetapi juga praktek-praktek ketatanegaraan dan pencantuman prinsip-prinsip konstitusi dalam setiap undang-undang tertulis seperti yang terjadi di Inggris. Pada dasarnya konstitusi merupakan sebuah gambaran mengenai budaya (culture) dari kehidupan sosial politik dan ekonomi suatu bangsa yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan atas dasar kesepakatan bersama (general agreement) yang kemudian disebut sebagai Undang-Undang Dasar. Namun kesepakatan untuk melakukan transformasi konstitusi kedalam bentuk tulisan berdasarkan general agreement tersebut tidak serta merta menghapus konstitusi yang tidak ditransformasikan kedalam bentuk tulisan, konstitusi tersebut tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa klasifikasi yang tepat dilakukan adalah membagi konstitusi sebagai konstitusi yang terkodifikasi dan konstitusi yang tidak terkodifikasi.

Perbedaan yang sangat fundamental antara konstitusi yang terkodifikasi dan yang tidak terkodifikasi adalah bahwa dalam konstitusi yang tidak terkodifikasi hanya diperlukan penyimpangan terhadap norma tersebut jika diinginkan adanya perubahan dalam masayrakat, hal ini dikarenakan bahawa konstitusi yang tidak terkodifikasi hanyalah dipertahankan atas dasar pertimbangan moral bahwa norma tersebut secara moral dikatakan baik (moraly binding). Berbeda dengan konstitusi tidak terkodifikasi, dalam konstitusi yang terkodifikasi diperlukan mekanisme yang rigid atau keadaan yang istimewa untuk melakukan perubahan (some primary force), hal ini dikarenakan konstitusi yang terkodifikasi adalah merupakan persetujuan antara rakyat dan negara (general agreement) yang menggambarkan kedaulatan rakyat yang kemudian menimbulkan konsekuensi yuridis apabila negara lalai dalam pemenuhan norma-norma konstitusi tersebut, bahkan pemenuhan norma tersebut yang merupakan kewajiban konstitusional negara tidak dapat ditunda-tunda pemenuhan atau pelaksanaannya, karena menunda-nunda penegakan hukum yang merupakan hukum yang berisikan keadilan (just law) adalah merupakan pengabaian atau pembangkangan terhdap keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied).



[1] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.

[2] Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 19 – 34.

[3] William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Consti­tu­tio­nalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political commu­nity have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.

[4] Ibid., hal.12-13.

[5] dalam bukunya Miriam Budiarjo menggunakan istilah UUD untuk keduanya, untuk memudahkan pemahaman Penulis menggunakan istilah Konstitusi dan UUD.

[6] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2008. hlm.169.

[7] Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia , hlm.65

[8] Ibid

[9] Jimly, Asshiddiqie. Konstitusi…Op. cit, hlm. 148. Lihat juga K.C. Wheare, Modern Constitution. Hlm. 19.

[10] Jimly, Asshiddiqie. Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006 ,hlm. 148.

[11] Ibid, hlm. 167.

[12] Ibid, hlm. 178.

[13] Ibid