Senin, 28 September 2009

THE RULE OF LAW

Paul Woodruff mengatakan bahwa dalam masa demokrasi di zaman Yunani telah berkembang sebuah konsep tentang hukum suatu bangsa, dimana hukum harus digunakan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat, dan konsep tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan nomos (hukum)[1]. Hans Kelsen memberikan sebuah teori tentang hukum, bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perliaku-perilaku manusia[2]. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memilki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem[3]. Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja[4].

Nomos yang dalam sejarah Yunani kuno bertujuan untuk mengatur suatu Negara yang berdaulat pada dasarnya adalah bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap sifat-sifat Negara yang tidak dimiliki oleh organisasi lainnya. Menurut Prof. Miriam Budiarjo, sifat-sifat Negara tersebut adalah :

1. Sifat memaksa. Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah. Sifat memaksa ini dapat diartikan juga bahwa Negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal.

2. Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.

3. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua tanpa terkecuali[5].

Dikarenakan kekuasaan Negara yang begitu besar ini maka munculah gagasan mengenai pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum untuk mengurangi kemungkinan kekuasaan suatu Negara berkembang menjadi tidak terbatas dan sewenang-wenang.

Gagasan untuk membatasi kekuasaan ini pernah dirumuskan oleh ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyhur sebagai berikut: “ Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely)”.[6]

Oleh karena hukum dijadikan sebagai perwujudan dari kekuasaan tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah maka dapat diartikan pula sebagai konsep Negara hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum, bukan manusia (government by laws, not by men).[7]

Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya mengatakan bahwa ahli-ahli hukum dari Eropa Barat Kontinental seperti Friedrich Julius Stahl memakai istilah rechstaat untuk konsep Negara hukum. Menurut Stahl terdapat empat unsur yang ada dalam rechtstaat dalam arti klasik, yaitu:

1. Hak-hak manusia.

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (dalam Negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politika)

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (vetmatigheid van bestuur)

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.[8]

Selain daripada itu, Prof Miriam Budiarjo mengatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law dalam arti yang klasik dalam Negara-negara anglo saxon yang dikemukakan oleh A. V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik bagi orang biasa, maupun pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.[9]

Kedua rumusan rechstaat dan rule of law diatas sangatlah dipengaruhi keadaan saat itu berupa prinsip Negara sebagai penjaga malam (nachtwacherstaat) yang dirumuskan dengan dalil “the best government is the least government”. Sesuai dengan berkembangnya paham Negara kesejahteraan (walfare state) pada awal abad ke-20 maka diperlukan perkembangan gagasan rule of law yang dikumukakan oleh A. V. Dicey yang dirumuskan melalui International Commission of Jurist dalam konverensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang memperluas konsep mengenai the rule of law, dan menekankan the dynamic aspects of the rule of law in the modern age[10]. Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law ialah :

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (Independent and impartial tribunals).

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.

6. Pendidikan kewarganegaraan (civil education)[11].

Arti dari pengertian the rule of law ini menurut Prof. Sunarjati Hartono yang mengutip pendapat yang digunakan Friedman bahwa kata “rule of law” dapat dipakai dalam arti formil (in the formal sense) dan dalam arti materiil (ideological sense)[12]. Dalam arti formil ini maka the rule of law adalah “orgenised public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Sedangkan dalam arti materil, the rule of law adalah berbicara tentang just law (hukum yang mengandung keadilan)[13]. Sehingga menurut Prof. Sunarjati Hartono bahwa penegakan the rule of law, jika tidak diartikan sebagai the rule of just law, yang diartikan juga sebagai the rule of social justice, maka penegakkan the rule of law itu dapat menimbulkan suatu Negara kekuasaan (machstaat). Bahkan dapat merupakan alat bagi penguasa (the rulling class) untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya[14].

T. D. Weldon juga memberikan pengertian mengenai Negara yang menganut paham the rule of law yang berarti Negara tersebut tidak hanya memiliki suatu peradilan yang sempurna diatas kertas saja, akan tetapi ada atau tidaknya the rule of law dalam suatu Negara tergantung daripada kenyataan apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahnya[15].

Prof. Sunarjati juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan the rule of law tidak hanya berarti pengadilan hanya berhak mengawasi dan mengadili pertikaian yang terjadi diantara masyarakat, tetapi juga berwenang untuk mengawasi bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya, yang berarti bahwa pengadilan diposisikan sebagai satu-satunya instansi sekaligus instansi tertinggi (enigste en hoogste instantie) yang berwenang menentukan apakah tindakan-tindakan pemerintah itu benar dan berdasarkan hukum yang berlaku[16].

Hubungan antara penegakkan the rule of law dan Negara hukum itu terjadi, oleh karena hingga kini, baik Negara-negara dengan sistem hukum anglo saxon, maupun Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya melihat satu jalan untuk mencapai tujuannya yaitu menegakkan hukum yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial. Yaitu dengan memberi wewenang kepada pengadilan untuk mengawasi kebijakan pemerintah secara yuridis. Serta untuk menyelidiki apakah suatu undang-undang atau ketetapan pemerintah itu tidak inkonstitusional, atau apakah pejabat-pejabat pemerintah melakukan “onrechtmatige overheidsdaad” atau tidak[17].

Atau dengan kata lain bahwa hubungan antara the rule of law dengan konsep Negara hukum adalah diberikannya kewenangan kepada pengadilan untuk memutuskan apakah kebijaksanaan pemerintah itu adil dan sesuai dengan grundsnorm atau falsafah hukum dan Negara, yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.

Pembatasan kekuasaan Negara oleh hukum adalah sebuah ciri khas dari paham konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional yang menghendaki adanya pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Prof. Miriam Budiarjo mengatakan bahwa pembatasan kekuasaan pemerintah oleh konstitusi disebut sebagai constitutional government atau limited government atau restrained government[18]. Lebih lanjut prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa yang dimaksud dengan paham konstitusionalisme adalah pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya[19]. Prof. Miriam Budiarjo juga mengatakan bahwa pada waktu demokrasi konstitusional ini muncul sebagai suatu program yang konkret, dianggap bahwa penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara haruslah diatur dengan sebuah konstitusi tertulis dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga Negara serta melakukan pemisahan kekuasaan Negara pada cabang-cabang kekuasaan Negara. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip inilah yang kemudian disebut dengan The rule of law[20]. Sehingga jika pengertian the rule of law ini dihubungkan dengan paham Negara hukum (rechstaat) dapatlah dikatakan bahwa the rule of law tidak lain daripada the rule of justice[21].



[1] Paul, Woodruff. First Democracy: The Challenge of an Ancient Idea, Oxford University Press, New York, 2005. Hlm. 114.

[2] Kelsen, General Theory of Law…..Hlm. 3.

[3] Ibid, hlm. 30-31.

[4] Jimly, Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Hlm. 13.

[5] Miriam, Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2006. Hlm. 50.

[6] Ibid, hlm. 107.

[7] Ibid, hlm. 113.

[8] Ibid,

[9] Ibid, hlm. 113-114.

[10] Ibid, hlm 115-116.

[11] International Commissions of Jurists, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, International Commissions of Jurists, Bangkok, 1965. Hlm. 39-50.

[12] Sunarjati, Hartono. Apakah The Rule of Law Itu?, Alumni, Bandung, 1976. Hlm. 28.

[13] Ibid,

[14] Ibid, hlm. 34

[15] Ibid, hlm. 31

[16] Sunaryati, Hartono, Op.cit. Hlm. 68.

[17] Ibid, hlm. 102.

[18] Ibid.

[19] Jimly, Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Hlm.19.

[20] Miriam, Budiarjo. Op.cit. Hlm. 108.

[21] Sunarjati, Hartono. Op.cit. Hlm. 109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar