Minggu, 13 Desember 2009

NILAI SEBUAH KONSTITUSI

Brian Thompson memberikan definisi konstitusi sebagai “a document wich containts the rules for the operation of the organitation[1]. Dalam konteks Negara sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi menurut Ivo D Duhacek adalah “ identify the source, purposes, uses, and restraint of public power”[2] yang berarti konstitusi merupakan sarana untuk mengidentifikasi sumber, tujuan, penggunaan serta pembatasan terhadap kekuasaan umum. Sehingga konstitusi yang memuat nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan juga keinginan yang merupakan kehendak masyarakat (general agreement) untuk dijalankan oleh Negara memiliki fungsi-fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie berupa :

1. fungsi penentu dan pembatas kekuasaan Negara.

2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara.

3. Fungsi pengatur hubungan antara organ Negara dengan warga Negara.

4. Fungsi pemberi atau legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara.

5. Fungsi pengatur dan pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli.

6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu.

7. Identity of nation.

8. Center of ceremony.

9. Social control.

10. Social engineering.[3]

Berkenaan dengan nilai yang mengandung fungsi-fungsi tersebut maka Karl Loewenstein dalam bukunya reflection on the value of constitution membedakan tiga macam nilai atau value of the constitution berupa :

  1. Normative Value. Yaitu, jika norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi tersebut dikatakan memiliki nilai yang normatif.
  2. Nominal Value. Yaitu, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, maka konstitusi tersebut dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal.
  3. Semantical Value. Yaitu, konstitusi yang norma-norma yang terkandung didalamnya hanya dihargai diatas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis atau sebatas alat pembenar belaka, bahkan dikutip dan dijadikan dasar pembenar belaka dalam pengambilan kebijakan, tetapi isi kebijakan tersebut sama sekali tidak mengamalkan amanat norma yang dikutipnya maka konstitusi tersebut bernilai semantik.[4]

Jika kita melihat praktek-praktek ketatanegaraan yang ada ataupun kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat norma-norma di dalam konstitusi yang telah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi namun ada juga hal-hal yang belum dijalankan. Hanya saja penulis berangapan bahwa tidak ditaatinya norma-norma tersebut berusaha untuk dibuat terselubung oleh pemerintah dengan diamanatkannya pembentukan undang-undang organik bagi pasal-pasal tertentu seperti pasal 34. Fakir miskin dan anak terlantar seharusnya dipelihara negara, namun dalam kenyataannya begitu banyak pekerja anak yang seolah tidak tersentuh tangan kebijakan pemerintah. Undang-Undang Dasar juga mengamanatkan adanya jaminan sosial serta jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, namun amanat konstitusi ini pun belum dapat dirasakan oleh rakyat. Hak kesehatan dan hak warga Negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat belum dapat dirasakan di negeri ini. Sehingga kesimpulan awal yang dapat diambil adalah bahwa konstitusi Indonesia bernilai nominal.

Namun, pasca perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dipegang oleh mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Fungsi mahkamah konstitusi adalah sebagai the guardian of constitution, artinya bahwa konstitusi sebenarnya menghendaki adanya pengawasan oleh lembaga kehakiman demi terciptanya nilai konstitusi yang normatif. MK berpendapat bahwa hak-hak konstitusional warga Negara merupakan amanat konstitusi merupakan hak yang bersifat mengikat secara hukum, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak tersebut tidak dapat ditunda-tunda pelaksanaannya, seperti yang Prof. Sunaryati Hartono dalam bukunya “Apakah The Rule of Law itu?” katakan bahwa justice delayed is justice denied”. Sehingga dengaan adanya eksistensi MK dalam mengawal konstitusi yang mempunyai sifat putusan yang final and binding maka pada dasarnya nilai konstitusi kita sudahlah dapat dikatakan bernilai normatif. Sayangnya kewenangan MK untuk menafsirkan UUD bukanlah kewenangan yang berdiri sendiri melainkan kewenangan yang menempel pada kewenangan pengujian undang-undang (judicial review), sehingga MK hanya dapat melindungi nilai-nilai di dalam konstitusi berdasarkan kasus yang diterimanya untuk diadili.

Konstitusi kita pasca amandemen juga mencantumkan jaminan HAM dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Namun MK belum memiliki kewenangan constitutional complaint yang memungkinkan warga Negara dapat melakukan permohonan pemenuhan hak konstitutionalnya. Sehingga dengan kewenangan yang besar pada lembaga MK ini memungkinkan sekali untuk menjadikan nilai konstitusi kita bernilai normatif. Namun, yang harus diingat adalah bahwa konstitusi adalah hukum yang bersifat semu, artinya adalah bahwa pemenuhan norma-norma konstitusi oleh pemerintah tergantung kepada political will dari pemerintah untuk memenuhinya. Pemerintah tidak dapat dihukum apabila tidak memenuhi norma-norma dalam konstitusi tersebut. Bahkan ada adagium yang mengataan bahwa “seburuk-buruknya sebuah konstitusi, selama ia masih dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan maka akan cenderung dipertahankan”. Sehingga sangat sulit dan hal yang utopis jika mengatakan bahwa konstitusi kita bernilai normatif, karena keadaan social, politik serta ekonomi dalam masyarakat sangat jelas menggambarkan bahwa nilai konstitusi kita bernilai nominal.



[1] Jimly, Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15.

[2] Ibid, hlm. 17. Lihat juga Ivo D Duhacek, Constitution/Constitutionalism, Blackwell’s Encyclopedia of Political Science, Blackwell, Oxford, 1987, hlm. 142.

[3] Jimly, Op. cit. hlm. 27.

[4] Jimly, Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm, 135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar